Rabu, 02 Mei 2018

Rumah Yang Disewa 3 Kali


"Jika sekali, itu kesalahan. Dua kali, artinya memperbaiki. Kalau sudah yang ketiga kali, baiknya tak usah diladeni."

Saat itu tak ada bulan di langit, hanya ada sedikit taburan bintang, namun aku tak tertarik. Lalu malam mulai menyendu, sebuah pesan masuk begitu saja. Pesan dari orang yang selalu ku sebut rumah, orang yang pernah ku harap menjadi nahkoda kapal yang saat itu masih bersandar. Padahal hanya tinggal melepas jangkar, namun ternyata, nyatanya tak seperti yang ingin dijadikan kenyataan. Sebuah akhir dari pria yang tiap malam, ingatan akan senyumnya selalu menghalau mimpi buruk. Ia pergi begitu saja, tanpa alasan. Hanya meninggalkan setumpuk kenangan hitam-putih yang bahkan saat ini masih belum berubah menjadi warna sepia.

Dengan segala tangis, perempuan ini bersandar di balik pintu kamarnya, terus menuntut jawaban ‘mengapa’, tak henti menghubungi lelaki yang bahkan sejak 3 jam sebelumnya nomornya sudah tak aktif. Terus berusaha menghubungi, hingga lelah membuat mata menutup untuk beristirahat. Hari-hari setelahnya terasa begitu mendung, langit seakan abu, padahal teman berkata jika langit begitu biru. Waktu terus berjalan, mengajarkanku bagaimana cara bertahan hidup bersama rasa sakit.

Lalu, ketika oktober datang, ia kembali dengan segala janjinya. Datang dengan senyuman tanpa maaf, seolah tak pernah menyakiti perempuan yang sedang berdiri di hadapannya. Dan seolah tak merasakan sakit, kepalaku yang sebelumnya ingin meledak mencari keberadaannya, mengangguk begitu saja seakan aku tak pernah ditinggal tanpa alasan oleh pria ini. Bukan! Aku belum bodoh. Sebut saja ini kesempatan kedua.

Cukup lama bertahan, mengoceh sana-sini, bercerita tentang kesulitan satu sama lain. Berbagi hal yang di anggap indah, tak pernah ada pertengkaran yang serius. Hingga kejadian yang sama terulang kembali, seperti mengalami kondisi dalam ilmu psikologi yang disebut déjà vu. Hanya dengan pesan, ia kembali pergi. Aku menutup mataku, mencoba mencari letak kesalahanku. Hingga seujung kuku-pun, aku tak pernah merasa pernah melakukan kesalahan. Namun sebenarnya itu adalah kesalahan dalam sebuah hubungan.

Hari selanjutnya, aku berjalan menuju tempat kerja. Sebelumnya, tepatnya dua hari yang lalu, bahkan hari yang mendung terasa begitu cerah hanya karena perasaanku yang begitu baik. Namun hari ini, teman yang berjalan di sampingku terus mengatakan jika langit begitu indah, bahkan tanpa menengoknya, bibirku hanya bisa menjawab jika langit begitu kusam.

Lagi, waktu mengajariku bagaimana cara untuk hidup bersama rasa sakit. Namun aku belum bisa mendapat pembelajaran dari hal ini. Aku hanya ingin dia kembali bersamaku. Aku terus berdoa, berdoa, dan berdoa, untuk mengembalikan lelaki itu. Namun, bisakah? Mungkinkah? Ah, sudahlah! Jika jodoh tak akan kemana.

Benar saja, jodoh tak akan kemana. Setahun setelahnya, walau setahun aku masih belum bisa melupakannya. Rasa sayangku masih sama, rasa sakitku masih bisa ku ingat bagaimana rasanya. Lelaki itu datang lagi. Kali ini ia meminta maaf, tapi tak mengaku salah. Biarlah! Aku juga tak memikirkannya. Yang penting ia kembali. Ya, inilah hal yang dikatakan Bodoh. Masuk ke lubang yang sama sebanyak 3 kali. Bahkan jika aku menjadi orang lain, aku pasti akan berkata’Bodoh’ pada diriku ini,

Namun aku yang saat itu, ia telah dibutakan oleh sayang yang begitu dalam pada dia. Keyakinan yang sebenarnya bukan datang dari Tuhan, namun yakin yang ku buat sendiri dan terus kucoba untuk ku percayai. Padahal sebenarnya, aku tak bisa yakin karena kejadian 2 kali yang sebelumnya benar-benar membuatku takut. Namun yakin-ku yang berisi jika dia-lah rumahku yang sesungguhnya tak bisa ku hilangkan. Aku terus memaksa dan mendesak keyakinanku untuk mempercayainya. Ia adalah tempatku bersandar ketika sedih, tempatku beristirahat ketika penat, dan tempatku pulang ketika lelah.

Semua baik-baik saja. Waktu terus berjalan sambil ia menggenggamku. Hingga sebuah hal yang selalu ku bayangkan, namun tak ingin jika itu terjadi menjadi kenyataan. Seharian tak ada kabar darinya. Dua hari. Tiga Hari. Seminggu. Sebulan. Aku tak ingin mencarinya lagi. Aku menahannya. Aku berusaha untuk tak menangis, karena ini salahku. Aku membuka pintu rumahku kepada orang yang tak pernah memberi salam ketika ingin meninggalkan rumahku. Aku mempersilahkannya masuk ke dalam rumahku, padahal aku tahu jika ia telah merusak isi rumahku berkali-kali.

Aku hanyalah rumah yang ia sewa. Bukan rumah yang akan dimilikinya secara permanen dengan buku berwarna merah-hijau dari kantor urusan agama. Dan lagi, waktu mengajarkanku hidup bersama rasa sakit. Mungkin bisa ku koreksi. Kejadian yang ketiga kali ini, waktu mengajarkanku hal yang berbeda. Ia mengajarkan bagaimana cara untuk menyembuhkan rasa sakit.

Diriku pernah menyesal, mengapa Tuhan mempertemukanku dengan dia. Namun aku mendapat jawabannya. Tuhan selalu mempertemukan kita dengan orang yang acak. Pada pertemuan pertama ia sama dengan orang lain yang kita temui sesaat saat berada di tempat umum. Tapi kitalah yang memilih untuk mengenalnya, lalu kita lupa meminta petunjuk pada Tuhan tentang ‘haruskah kita mengenalnya lebih jauh atau tidak’. Kita terus menyalahkan takdir yang mempertemukan kita dengan orang yang salah, namun kitalah yang salah karena terus menyalahkan takdir. Karena semua kesalahan asalnya dari kita. Tuhan selalu memberi yang terbaik pada hamba-Nya.

Namun setidaknya, kita akan belajar. Hal ini tak akan kita dapatkan di bangku sekolah seperti ilmu matematika ataupun fisika, hal ini hanya ada pada orang-orang yang pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya. Dari kesalahan tersebut, kita akan belajar menjadi benar, walau tak langsung bisa benar pada percobaan pertama.

Pelan-pelan, luka akan mendewasakan hati kita yang sebelumnya sangat rentan. Berbagai macam rasa sakit akan membuat kita semakin dekat dengan Tuhan. Karena hanya Tuhan yang tahu segalanya, bahwa hanya Tuhan satu-satunya tempat kita untuk menggantung harapan.

Jadi, aku akan terus memperbaiki diri. Karena aku yakin orang yang baik, sangat jauh dari kemungkinan mendapatkan yang buruk. Orang yang sepadan selalu di pertemukan. Namun jika ada yang tak sepadan ditemukan, artinya disanalah letak ujian yang diberikan Tuhan sebagai ladang untuk menaikkan keimanan. Bukan tak adil, namun Tuhan lebih sayang. Tuhan yakin orang-orang yang diberi cobaan semacam itu adalah orang-orang yang mampu melewati ujiannya dengan sukses.






April 26, 2018 – 04:04 AM   

J O Y  Fara    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Vol. 1 (Disorder)

Aku tenggelam. Dalam lautan lepas yang tenang, yang birunya menyembunyikanku dari permukaan. Semua terasa berbeda. Dadaku begitu ses...