"Jika sekali, itu kesalahan. Dua kali, artinya memperbaiki. Kalau sudah yang ketiga kali, baiknya tak usah diladeni."
Saat itu tak ada bulan di langit, hanya ada sedikit taburan
bintang, namun aku tak tertarik. Lalu malam mulai menyendu, sebuah pesan masuk
begitu saja. Pesan dari orang yang selalu ku sebut rumah, orang yang pernah ku
harap menjadi nahkoda kapal yang saat itu masih bersandar. Padahal hanya
tinggal melepas jangkar, namun ternyata, nyatanya tak seperti yang ingin
dijadikan kenyataan. Sebuah akhir dari pria yang tiap malam, ingatan akan
senyumnya selalu menghalau mimpi buruk. Ia pergi begitu saja, tanpa alasan.
Hanya meninggalkan setumpuk kenangan hitam-putih yang bahkan saat ini masih
belum berubah menjadi warna sepia.
Dengan segala tangis, perempuan ini bersandar di balik pintu
kamarnya, terus menuntut jawaban ‘mengapa’, tak henti menghubungi lelaki yang
bahkan sejak 3 jam sebelumnya nomornya sudah tak aktif. Terus berusaha
menghubungi, hingga lelah membuat mata menutup untuk beristirahat. Hari-hari
setelahnya terasa begitu mendung, langit seakan abu, padahal teman berkata jika
langit begitu biru. Waktu terus berjalan, mengajarkanku bagaimana cara bertahan
hidup bersama rasa sakit.
Lalu, ketika oktober datang, ia kembali dengan segala
janjinya. Datang dengan senyuman tanpa maaf, seolah tak pernah menyakiti
perempuan yang sedang berdiri di hadapannya. Dan seolah tak merasakan sakit,
kepalaku yang sebelumnya ingin meledak mencari keberadaannya, mengangguk begitu
saja seakan aku tak pernah ditinggal tanpa alasan oleh pria ini. Bukan! Aku
belum bodoh. Sebut saja ini kesempatan kedua.
Cukup lama bertahan, mengoceh sana-sini, bercerita tentang
kesulitan satu sama lain. Berbagi hal yang di anggap indah, tak pernah ada
pertengkaran yang serius. Hingga kejadian yang sama terulang kembali, seperti
mengalami kondisi dalam ilmu psikologi yang disebut déjà vu. Hanya dengan
pesan, ia kembali pergi. Aku menutup mataku, mencoba mencari letak kesalahanku.
Hingga seujung kuku-pun, aku tak pernah merasa pernah melakukan kesalahan.
Namun sebenarnya itu adalah kesalahan dalam sebuah hubungan.
Hari selanjutnya, aku berjalan menuju tempat kerja.
Sebelumnya, tepatnya dua hari yang lalu, bahkan hari yang mendung terasa begitu
cerah hanya karena perasaanku yang begitu baik. Namun hari ini, teman yang
berjalan di sampingku terus mengatakan jika langit begitu indah, bahkan tanpa
menengoknya, bibirku hanya bisa menjawab jika langit begitu kusam.
Lagi, waktu mengajariku bagaimana cara untuk hidup bersama
rasa sakit. Namun aku belum bisa mendapat pembelajaran dari hal ini. Aku hanya
ingin dia kembali bersamaku. Aku terus berdoa, berdoa, dan berdoa, untuk
mengembalikan lelaki itu. Namun, bisakah? Mungkinkah? Ah, sudahlah! Jika jodoh
tak akan kemana.
Benar saja, jodoh tak akan kemana. Setahun setelahnya, walau
setahun aku masih belum bisa melupakannya. Rasa sayangku masih sama, rasa
sakitku masih bisa ku ingat bagaimana rasanya. Lelaki itu datang lagi. Kali ini
ia meminta maaf, tapi tak mengaku salah. Biarlah! Aku juga tak memikirkannya.
Yang penting ia kembali. Ya, inilah hal yang dikatakan Bodoh. Masuk ke lubang
yang sama sebanyak 3 kali. Bahkan jika aku menjadi orang lain, aku pasti akan
berkata’Bodoh’ pada diriku ini,
Namun aku yang saat itu, ia telah dibutakan oleh sayang yang
begitu dalam pada dia. Keyakinan yang sebenarnya bukan datang dari Tuhan, namun
yakin yang ku buat sendiri dan terus kucoba untuk ku percayai. Padahal
sebenarnya, aku tak bisa yakin karena kejadian 2 kali yang sebelumnya
benar-benar membuatku takut. Namun yakin-ku yang berisi jika dia-lah rumahku
yang sesungguhnya tak bisa ku hilangkan. Aku terus memaksa dan mendesak
keyakinanku untuk mempercayainya. Ia adalah tempatku bersandar ketika sedih,
tempatku beristirahat ketika penat, dan tempatku pulang ketika lelah.
Semua baik-baik saja. Waktu terus berjalan sambil ia
menggenggamku. Hingga sebuah hal yang selalu ku bayangkan, namun tak ingin jika
itu terjadi menjadi kenyataan. Seharian tak ada kabar darinya. Dua hari. Tiga
Hari. Seminggu. Sebulan. Aku tak ingin mencarinya lagi. Aku menahannya. Aku
berusaha untuk tak menangis, karena ini salahku. Aku membuka pintu rumahku
kepada orang yang tak pernah memberi salam ketika ingin meninggalkan rumahku.
Aku mempersilahkannya masuk ke dalam rumahku, padahal aku tahu jika ia telah merusak
isi rumahku berkali-kali.
Aku hanyalah rumah yang ia sewa. Bukan rumah yang akan
dimilikinya secara permanen dengan buku berwarna merah-hijau dari kantor urusan
agama. Dan lagi, waktu mengajarkanku hidup bersama rasa sakit. Mungkin bisa ku
koreksi. Kejadian yang ketiga kali ini, waktu mengajarkanku hal yang berbeda.
Ia mengajarkan bagaimana cara untuk menyembuhkan rasa sakit.
Diriku pernah menyesal, mengapa Tuhan mempertemukanku dengan
dia. Namun aku mendapat jawabannya. Tuhan selalu mempertemukan kita dengan
orang yang acak. Pada pertemuan pertama ia sama dengan orang lain yang kita
temui sesaat saat berada di tempat umum. Tapi kitalah yang memilih untuk
mengenalnya, lalu kita lupa meminta petunjuk pada Tuhan tentang ‘haruskah kita
mengenalnya lebih jauh atau tidak’. Kita terus menyalahkan takdir yang
mempertemukan kita dengan orang yang salah, namun kitalah yang salah karena
terus menyalahkan takdir. Karena semua kesalahan asalnya dari kita. Tuhan
selalu memberi yang terbaik pada hamba-Nya.
Namun setidaknya, kita akan belajar. Hal ini tak akan kita
dapatkan di bangku sekolah seperti ilmu matematika ataupun fisika, hal ini
hanya ada pada orang-orang yang pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya. Dari
kesalahan tersebut, kita akan belajar menjadi benar, walau tak langsung bisa
benar pada percobaan pertama.
Pelan-pelan, luka akan mendewasakan hati kita yang
sebelumnya sangat rentan. Berbagai macam rasa sakit akan membuat kita semakin
dekat dengan Tuhan. Karena hanya Tuhan yang tahu segalanya, bahwa hanya Tuhan
satu-satunya tempat kita untuk menggantung harapan.
Jadi, aku akan terus memperbaiki diri. Karena aku yakin
orang yang baik, sangat jauh dari kemungkinan mendapatkan yang buruk. Orang
yang sepadan selalu di pertemukan. Namun jika ada yang tak sepadan ditemukan,
artinya disanalah letak ujian yang diberikan Tuhan sebagai ladang untuk
menaikkan keimanan. Bukan tak adil, namun Tuhan lebih sayang. Tuhan yakin
orang-orang yang diberi cobaan semacam itu adalah orang-orang yang mampu
melewati ujiannya dengan sukses.
April 26, 2018 – 04:04
AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar