Jumat, 07 Desember 2018

Vol. 1 (Disorder)


Aku tenggelam.

Dalam lautan lepas yang tenang, yang birunya menyembunyikanku dari permukaan. Semua terasa berbeda. Dadaku begitu sesak, nafasku tersendat. Adakah yang akan menolongku? Tak ada. Tak ada. Tak ada.

Aku tersesat.

Pada keramaian tak berbatas, dimana orang-orang mengabaikanku. Semua hanya memandang tanpa menolong. Aku begitu takut, cemasku memuncak. Adakah yang akan mengulurkan tangannya? Tak ada. Tak ada. Tak ada.

Dunia begitu indah sebelum usia 16 tahun menggenapi hidupku. Saat itu aku sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun aku belum dewasa untuk mengatakan jika sesuatu salah dan menunjukkan pada yang salah tentang yang benar. Semua orang memandangku berbeda. Hanya karena aku datang ke sekolah baik-baik saja, mereka pikir aku memang baik-baik saja. Aku muak dengan pelajaran sekolah yang hanya mengajarkan perhitungan, hafalan, cara mendapatkan kerja, cara masuk ke universitas, dan dorongan untuk meraih nilai terbaik. Tapi tak ada satupun yang mengajariku pelajaran bagaimana agar bahagia, tak ada yang memberitahuku tentang batas, tak ada yang mengatakan jika istirahat penting, tak ada yang membahas bagaimana cara keluar dari depresi tersembunyi.

Semua orang di sekeliling mengaku menyayangi, namun kenyataannya mereka hanya tahu cara untuk menyayanginya dengan perasaan, tanpa tindakan, tanpa dukungan. Mereka memperlihatkan hal yang seharusnya tak aku lihat. Tanpa rasa bersalah mereka bertingkah bertentangan dengan hal yang aku tahu benar dan terus melakukannya tanpa memikirkan apakah aku terluka atau tidak. Seharusnya mereka sembunyikan dari jiwa yang masih belajar ini. Ketika tubuh ini sakit tak ada yang peduli. Hanya memberi uang dan beli yang kau suka. Jika saja kebahagiaan dapat ku beli dengan uang itu, maka tak ada lagi namanya kesedihan dalam hidupku. Terkadang begitu sakit ketika orang lain dengan mudahnya tersenyum dan memeluk satu sama lain ketika mereka bertemu. Terkadang begitu iri ketika mendengar orang merindukan seseorang yang telah tiada dan jauh darinya. Sedang perasaan rindu ini terus bersemayam untuk seseorang yang tiap harinya bertatap muka dengan mata ini. Dan…

Aku menangis.

Menyalahkan diri sendiri. Aku membenci hidupku.

Pertanyaan demi pertanyaan dengan awalan ‘mengapa’ terus meronta meminta jawaban. Namun tak ada jawaban. Semua bisu.

Tiap hari rasanya begitu sesak. Tiap malam selalu terjaga memikirkan kehidupan. Jika aku memberitahu dunia tentang apa yang aku rasakan, maka aku hanya berdosa karena membuat orang-orang berpura-pura menjadi yang paling benar. “Sangat banyak orang yang lebih sakit dari kamu, mereka yang terkena kanker dan tak bisa sembuh.” Hey buddy, do you know what the feelings inside my heart? Aku tidak pernah meminta rasa sakit ini seperti penderita kanker yang tak pernah berdoa agar ia terkena kanker. Just open your mind, jika penyakit mental dan penyakit fisik adalah dua hal yang berbeda. Namun keduanya bisa menimbulkan seseorang kehabisan darah, keduanya bisa membuat orang di infus, keduanya bisa membawa penderitanya dirawat di rumah sakit, dan keduanya bisa menyebabkan pada hal yang tak diinginkan—dan kalian mengerti maksudnya—namun keduanya memiliki perbedaan yang berbeda.

Mungkin mereka yang sedang demam hanya akan merasakan badannya panas dingin, lalu bagaimana dengan penyakit mental? Dia menyerangmu di pikiran hingga otakmu lelah, hal-hal buruk terus menghantuimu di setiap tidurmu, berbagai trauma masa lalu yang ingin kamu kubur akan datang ketika sesuatu yang identik dengan trauma mu hadir di depanmu. Telingamu akan selalu mendengar suara dengungan dan bunyi berisik, rahangmu akan selalu berbunyi setiap kali kamu membuka mulut karena uratmu yang menegang, dan tubuhmu akan terasa lelah karena terus mencoba menghadapi semuanya.

Mungkin mereka yang sedang demam hanya terjaga beberapa malam selama sakit, namun setiap malam aku selalu terjaga karena memikirkan semua kesalahanku dan kesalahan yang mereka buat padaku, lalu ketika pagi hari datang aku harus beraktivitas dengan tubuh yang lelah, lalu siang hari akan menjadi seorang pelamun yang tak ingin melakukan apapun dan tertidur beberapa saat lalu terbangun akibat mimpi buruk yang kembali datang. Lalu bagaimana bisa kalian tak peduli? Bagaimana bisa menganggapku baik-baik saja?

Aku lelah.

Sangat lelah.

Lalu penyakit kompulsif kembali datang. Melakukan banyak hal yang tak seharusnya aku lakukan. Mencuci tangan hingga tanganku berdarah, menyentuh sedikit debu lalu kembali mencuci tangan hingga ia memerah, mengunci pintu lalu pergi lalu harus kembali berulang-ulang hanya untuk kembali menguncinya, mematikan lampu sebelum tidur, lalu menyalakannnya lagi, lalu mematikannya lagi, hingga hatiku merasa puas dan tak ingin melakukannya lagi. Saat berjalan berjalan aku membuat aturan bodoh agar tak menginjak garis-garis paving trotoar ataupun garis lantai, dan saat lantainya begitu kecil, aku harus berjinjit melewatinya. Ketika membuka pintu rumah aku harus menggunakan tangan kanan, namun ketika tak puas aku melepaskan peganganku lalu kembali memegangnya, melepaskan, kembali memegang hingga mataku benar-benar merekam setiap detik pergerakan tanganku.

Tiap hari, ritual itu bertambah. Seperti ketika berdoa, harus mengucapkan berulang-ulang kata pembuka dalam doa hingga lebih dari 3 kali, atau bahkan lebih hingga aku puas dan tak boleh berhenti di hitungan ganjil. Pun kadang ketika berjalan di pinggir jalan, dorongan-dorongan yang mengobsesi itu terus menghantui, seperti aku harus sampai duluan di pohon di ujung jalan sebelum mobil yang ada di jalanan melewatinya. Lalu ketika salah membaca sesuatu, aku harus mengulangnya dari awal, walaupun kata yang ku ucapkan salah sudah berada di akhir halaman, namun aku harus mengulangnya dari awal. Ketika menonton film, drama, atau video di laptop, aku harus memperhatikan semuanya dengan cermat, menjeda tontonan lalu mengamati hal yang ada di sana, dan aku harus mengingatnya, dan hal dalam diriku melarang untuk melanjutkan tontonan ketika aku tak bisa menghafalnya. Tiap hari ritual-ritual itu mulai bertambah, mulai semakin banyak seiring ketebalan kepercayaanku menipis. Mungkin kamu dapat mengatakannya hanya perlu mengabaikan dorongan itu, namun karena kamu tak pernah mengalaminya, jadi seharusnya kamu tak mengucapkannya. Jika tak melakukan itu semua, aku akan merasa cemas yang sangat mengganggu, perasaan tak tenang terus menghinggapi diriku, dan aku selalu mengancam diriku sendiri dengan hal yang tidak-tidak jika aku tak melakukannya. Ya, ini gila. Dan ini membuatku lelah, aku membencinya. Namun sisi buruk dalam diriku terus menekannya.

Ketika semuanya terasa begitu lelah, meminum obat tidur dari dokter adalah satu-satunya pilihan untuk menghentikan semuanya. Bersepeda dan lari di malam hari untuk membuat tubuh lebih lelah adalah cara terbaik untuk mengalihkan rasa lelah. Bertahun-tahun mengalami ini semua tak mudah. Hingga hal itu membuat nafsu makanku menggila. Ketika biasanya orang akan malas makan, namun berbeda denganku. Ciri-ciri orang yang memiliki depresi tersembunyi adalah nafsu makannya yang tak teratur. Dia sedikit makan atau banyak makan. Dan aku melakukannya. Dalam sehari aku dapat makan lebih dari 12 kali, makanan yang sebelumnya sama sekali tak aku suka, tetap ku makan. Hingga kadang aku harus memuntahkan semuanya, namun aku tak pernah merasa kenyang. Karena satu-satunya perasaan yang ku miliki hanya kesedihan akibat kesepian, karena kesedihan akibat semua luka.

Aku akan menyalahkan diriku sendiri atas semua ini. Karena ini hidupku. Aku akan menghadapinya sendiri, aku tak akan mendengar semua alasan yang kamu katakan untuk membuatku baik. Karena aku tidak membutuhkannya. Seberapa banyak pun pesan yang kau kirimkan padaku, aku tak peduli. Tak peduli. Walau niatmu baik untuk membantuku. Karena semua sudah terlambat.

Aku yang memulai rasa sakit ini dan aku yang akan mengakhirinya.


To be continued in Vol.2 #EndOfTheDay (Soon)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Vol. 1 (Disorder)

Aku tenggelam. Dalam lautan lepas yang tenang, yang birunya menyembunyikanku dari permukaan. Semua terasa berbeda. Dadaku begitu ses...