Aku tenggelam.
Dalam lautan lepas yang tenang, yang birunya
menyembunyikanku dari permukaan. Semua terasa berbeda. Dadaku begitu sesak,
nafasku tersendat. Adakah yang akan menolongku? Tak ada. Tak ada. Tak ada.
Aku tersesat.
Pada keramaian tak berbatas, dimana orang-orang
mengabaikanku. Semua hanya memandang tanpa menolong. Aku begitu takut, cemasku
memuncak. Adakah yang akan mengulurkan tangannya? Tak ada. Tak ada. Tak ada.
Dunia begitu indah sebelum usia 16 tahun menggenapi hidupku.
Saat itu aku sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun aku belum
dewasa untuk mengatakan jika sesuatu salah dan menunjukkan pada yang salah
tentang yang benar. Semua orang memandangku berbeda. Hanya karena aku datang ke
sekolah baik-baik saja, mereka pikir aku memang baik-baik saja. Aku muak dengan
pelajaran sekolah yang hanya mengajarkan perhitungan, hafalan, cara mendapatkan
kerja, cara masuk ke universitas, dan dorongan untuk meraih nilai terbaik. Tapi
tak ada satupun yang mengajariku pelajaran bagaimana agar bahagia, tak ada yang
memberitahuku tentang batas, tak ada yang mengatakan jika istirahat penting,
tak ada yang membahas bagaimana cara keluar dari depresi tersembunyi.
Semua orang di sekeliling mengaku menyayangi, namun
kenyataannya mereka hanya tahu cara untuk menyayanginya dengan perasaan, tanpa
tindakan, tanpa dukungan. Mereka memperlihatkan hal yang seharusnya tak aku
lihat. Tanpa rasa bersalah mereka bertingkah bertentangan dengan hal yang aku
tahu benar dan terus melakukannya tanpa memikirkan apakah aku terluka atau
tidak. Seharusnya mereka sembunyikan dari jiwa yang masih belajar ini. Ketika
tubuh ini sakit tak ada yang peduli. Hanya memberi uang dan beli yang kau suka.
Jika saja kebahagiaan dapat ku beli dengan uang itu, maka tak ada lagi namanya kesedihan
dalam hidupku. Terkadang begitu sakit ketika orang lain dengan mudahnya
tersenyum dan memeluk satu sama lain ketika mereka bertemu. Terkadang begitu
iri ketika mendengar orang merindukan seseorang yang telah tiada dan jauh
darinya. Sedang perasaan rindu ini terus bersemayam untuk seseorang yang tiap
harinya bertatap muka dengan mata ini. Dan…
Aku menangis.
Menyalahkan diri sendiri. Aku membenci hidupku.
Pertanyaan demi pertanyaan dengan awalan ‘mengapa’ terus
meronta meminta jawaban. Namun tak ada jawaban. Semua bisu.
Tiap hari rasanya begitu sesak. Tiap malam selalu terjaga
memikirkan kehidupan. Jika aku memberitahu dunia tentang apa yang aku rasakan,
maka aku hanya berdosa karena membuat orang-orang berpura-pura menjadi yang
paling benar. “Sangat banyak orang yang lebih sakit dari kamu, mereka yang
terkena kanker dan tak bisa sembuh.” Hey buddy, do you know what the feelings
inside my heart? Aku tidak pernah meminta rasa sakit ini seperti penderita
kanker yang tak pernah berdoa agar ia terkena kanker. Just open your mind, jika
penyakit mental dan penyakit fisik adalah dua hal yang berbeda. Namun keduanya
bisa menimbulkan seseorang kehabisan darah, keduanya bisa membuat orang di
infus, keduanya bisa membawa penderitanya dirawat di rumah sakit, dan keduanya
bisa menyebabkan pada hal yang tak diinginkan—dan kalian mengerti maksudnya—namun
keduanya memiliki perbedaan yang berbeda.
Mungkin mereka yang sedang demam hanya akan merasakan
badannya panas dingin, lalu bagaimana dengan penyakit mental? Dia menyerangmu
di pikiran hingga otakmu lelah, hal-hal buruk terus menghantuimu di setiap tidurmu,
berbagai trauma masa lalu yang ingin kamu kubur akan datang ketika sesuatu yang
identik dengan trauma mu hadir di depanmu. Telingamu akan selalu mendengar
suara dengungan dan bunyi berisik, rahangmu akan selalu berbunyi setiap kali
kamu membuka mulut karena uratmu yang menegang, dan tubuhmu akan terasa lelah
karena terus mencoba menghadapi semuanya.
Mungkin mereka yang sedang demam hanya terjaga beberapa
malam selama sakit, namun setiap malam aku selalu terjaga karena memikirkan
semua kesalahanku dan kesalahan yang mereka buat padaku, lalu ketika pagi hari
datang aku harus beraktivitas dengan tubuh yang lelah, lalu siang hari akan
menjadi seorang pelamun yang tak ingin melakukan apapun dan tertidur beberapa
saat lalu terbangun akibat mimpi buruk yang kembali datang. Lalu bagaimana bisa
kalian tak peduli? Bagaimana bisa menganggapku baik-baik saja?
Aku lelah.
Sangat lelah.
Lalu penyakit kompulsif kembali datang. Melakukan banyak hal
yang tak seharusnya aku lakukan. Mencuci tangan hingga tanganku berdarah,
menyentuh sedikit debu lalu kembali mencuci tangan hingga ia memerah, mengunci
pintu lalu pergi lalu harus kembali berulang-ulang hanya untuk kembali
menguncinya, mematikan lampu sebelum tidur, lalu menyalakannnya lagi, lalu
mematikannya lagi, hingga hatiku merasa puas dan tak ingin melakukannya lagi.
Saat berjalan berjalan aku membuat aturan bodoh agar tak menginjak garis-garis
paving trotoar ataupun garis lantai, dan saat lantainya begitu kecil, aku harus
berjinjit melewatinya. Ketika membuka pintu rumah aku harus menggunakan tangan
kanan, namun ketika tak puas aku melepaskan peganganku lalu kembali
memegangnya, melepaskan, kembali memegang hingga mataku benar-benar merekam
setiap detik pergerakan tanganku.
Tiap hari, ritual itu bertambah. Seperti ketika berdoa,
harus mengucapkan berulang-ulang kata pembuka dalam doa hingga lebih dari 3
kali, atau bahkan lebih hingga aku puas dan tak boleh berhenti di hitungan
ganjil. Pun kadang ketika berjalan di pinggir jalan, dorongan-dorongan yang
mengobsesi itu terus menghantui, seperti aku harus sampai duluan di pohon di
ujung jalan sebelum mobil yang ada di jalanan melewatinya. Lalu ketika salah
membaca sesuatu, aku harus mengulangnya dari awal, walaupun kata yang ku
ucapkan salah sudah berada di akhir halaman, namun aku harus mengulangnya dari
awal. Ketika menonton film, drama, atau video di laptop, aku harus
memperhatikan semuanya dengan cermat, menjeda tontonan lalu mengamati hal yang
ada di sana, dan aku harus mengingatnya, dan hal dalam diriku melarang untuk
melanjutkan tontonan ketika aku tak bisa menghafalnya. Tiap hari ritual-ritual
itu mulai bertambah, mulai semakin banyak seiring ketebalan kepercayaanku
menipis. Mungkin kamu dapat mengatakannya hanya perlu mengabaikan dorongan itu,
namun karena kamu tak pernah mengalaminya, jadi seharusnya kamu tak
mengucapkannya. Jika tak melakukan itu semua, aku akan merasa cemas yang sangat
mengganggu, perasaan tak tenang terus menghinggapi diriku, dan aku selalu
mengancam diriku sendiri dengan hal yang tidak-tidak jika aku tak melakukannya.
Ya, ini gila. Dan ini membuatku lelah, aku membencinya. Namun sisi buruk dalam
diriku terus menekannya.
Ketika semuanya terasa begitu lelah, meminum obat tidur dari
dokter adalah satu-satunya pilihan untuk menghentikan semuanya. Bersepeda dan
lari di malam hari untuk membuat tubuh lebih lelah adalah cara terbaik untuk
mengalihkan rasa lelah. Bertahun-tahun mengalami ini semua tak mudah. Hingga
hal itu membuat nafsu makanku menggila. Ketika biasanya orang akan malas makan,
namun berbeda denganku. Ciri-ciri orang yang memiliki depresi tersembunyi
adalah nafsu makannya yang tak teratur. Dia sedikit makan atau banyak makan.
Dan aku melakukannya. Dalam sehari aku dapat makan lebih dari 12 kali, makanan
yang sebelumnya sama sekali tak aku suka, tetap ku makan. Hingga kadang aku
harus memuntahkan semuanya, namun aku tak pernah merasa kenyang. Karena
satu-satunya perasaan yang ku miliki hanya kesedihan akibat kesepian, karena
kesedihan akibat semua luka.
Aku akan menyalahkan diriku sendiri atas semua ini. Karena
ini hidupku. Aku akan menghadapinya sendiri, aku tak akan mendengar semua
alasan yang kamu katakan untuk membuatku baik. Karena aku tidak membutuhkannya.
Seberapa banyak pun pesan yang kau kirimkan padaku, aku tak peduli. Tak peduli.
Walau niatmu baik untuk membantuku. Karena semua sudah terlambat.
Aku yang memulai rasa sakit ini dan aku yang akan
mengakhirinya.
…
To be continued in Vol.2
#EndOfTheDay (Soon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar